20 Tahun dalam 26 Tahun

Sudah cukup lama jiwa ini berkelana dalam ruang dan waktu. Sudah cukup lama juga kesadaran ini menyadari keberadaan mereka. Kini, semua terasa semakin dekat dan semakin dekat; pintu yang menganga menuju rumah beratap tanah, ruang pengadilan tanpa palu di mana lidah justru menjadi saksi. Akan kesana hari-hari ini berjalan, melangkah atau pun dipaksa melakukan.

Tapi, aku baru berusia dua puluh tahun, teman, tidak kurang tidak lebih. Di sanalah usia ini kuhentikan, di sana waktu kubekukan. Dan aku akan menjadi tua bersamanya menjelajahi ruang di dalam penjara ini.

Diri yang selalu khilaf ini, belum puas rasanya menanam, memupuk, dan menikmati, dosa demi dosa. Terkadang dengan sedikit bumbu sesal, begitu dan begitu lagi. Ahh… betapa nikmat memanusia-entah-bukan ini.

Kebaikan tersia-sia, apalah artinya. Karena dewasa adalah pilihan yang hanya bermuara pada tiga pilihan lainnya: menjadi seorang positif yang oportunis, seorang realis yang apatis, atau menjadi seorang sinis yang melankolis. Atau langsung menua dimakan kerancuan usia.

Aku baru dua puluh tahun, teman, di dunia yang dua puluh enam tahun kuhayati. Kutemukan dan kupelajari segala kemungkinan memanusia hingga memalaikat. Mereka menjadi hantu-hantu yang bergentayangan, pekat menyesaki realita, tapi enggan merealita.

Kita yang berjalan menuju tempat peristirahatan terakhir, berjalan, berusaha, di atas jalan yang lurus, lurus yang berkelok-kelok, ke sana ke situ, menampik lurusnya jalan bengkok yang hanya bermuara di kesesalan. Ya, jalan yang lurus itu berkelok-kelok yang harus dilalui dengan seni menikung agar tidak terjerembab, dan jalan yang berkelok-kelok itu lurus, menyenangkan, yang jika dipacu kencang tanpa kendali, seorang pembalap pun akan menjadi penyakitan.

Dan dua puluh enam tahun sudah bumi berkelana mengitari sang penebar cahaya sejak diri ini menyeringai menatap dunia. Membalsami diri dengan dosa dan sedikit ketidaknormalan zaman. Waktu yang pendek, beranak-pinak dalam setiap kebuntuan asa, lalu mengerut di sela bahagia.

Dua puluh tahun dengan pengalaman enam tahun sebagai seorang berusia dua puluh tahun, dunia sungguh lucu. Perang yang damai, kegelisahan yang menenangkan, identitas yang pergi entah kemana. Ada yang tertinggal, banyak yang terserak, tercecer, hilang ditelan ingatan: mengintip masa sekarang, memprediksi masa lalu, mengingat masa depan. “Aku” diabsurdnya dunia: sungguh, aku lebih takut diri-ku daripada setan yang berbisik…