Jack dan Helena

Beberapa orang teman yang sesekali membaca blog saya, berulang kali bertanya kenapa blog ini bernama JacknHelena, padahal tidak ada cerita tentang Jack dan/atau Helena di dalamnya. Tentu saja, saya juga bertanya kepada diri sendiri kenapa namanya harus begitu. Dan jawabannya: saya tidak tahu. Saya tidak terlalu memikirkan namanya ketika membuat blog ini. Tapi yang pasti, di hampir semua cerpen yang saya karang, nama tokoh utamanya adalah Jack dan Helena (atau tanpa nama). Mungkin dari sanalah… Dan memang, saya tidak pernah mem-publish cerita tentang mereka.

Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mem-publish salah satu cerita tentang mereka. Tapi, cerita yang akan saya publish ini– menurut teman-teman yang cukup dalam mengenal saya–benar-benar tidak menggambarkan apa yang biasanya saya karang atau yang biasanya saya pikirkan (hal-hal seperti itu hanya akan menjadi sampah di pemikiran: struktulasime, post-strukturalisme, post-modernisme, pop culture, etc, yang pada akhirnya membawa saya menyelami hal-hal yang berbau eksistensialisme: tentang makna di dunia dimana yang banal dan profan begitu pekat meng-ada dan merealitas).

=============

Hujan. Pada pagi yang berlalu indah dengan atau tanpanya, apalah arti dingin yang selalu menyelimuti. Basah oleh air atau pun embun, sekuntum bunga tetaplah bunga, dengan segala makna yang terkandung dalam namanya. Dan pada berkah yang mereka timpakan, selalu ada hikmah dan pelajaran di baliknya. Bagai sepotong kecil semesta, keindahan menampak seperti benang kusut jika tidak dirasa. Apakah mereka menyadari bahwa lukisan Dalí tidaklah berarti apa-apa tanpa orang yang “melihat”nya?

“O Tuhan, Engkau Yang Serba Agung, tidakkah Kau merasa bahwa ini sudah lebih dari cukup? Hujan, lagi, dan hujan. Siapa yang bersyukur, tidak, bumi telah dalam nikmat terlingkup? Hujan, lagi dan Engkau biarkan.”

“Bukankah kopi ini menjadi lebih nikmat dengan adanya hujan?”

“Dan puisiku berakhir di sini. Terima kasih Tuhan.” Kata Jack sambil tersenyum ke arah temannya.

“Kau ada janji di sabtu pagi yang cerah ini…”

“Hmmm…”

“Dengan seorang perempuan?” Abe mengakhiri tanyanya setelah sempat terpotong oleh hmmm Jack.

“Tidak ada. Dan…, benar, bahwa kopi ini, si hitam yang pekat dan pahit, terima kasih Tuhan, adalah nikmat untuk dinikmati bersama hujan.” Ujar Jack tanpa memperhatikan temannya.

Abe memandangi Jack yang termenung memandang ke arah jalan raya melalui jendela dalam-dalam. “Kau yakin?”

“Memangnya kenapa?”

“Bukan bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, tapi kenapa sampai sekarang kau belum mau berhubungan secara serius dengan perempuan? Tidak ada yang salah dengan mereka atau pun dengan hubungan yang nantinya akan kau jalani.”

“Apakah menurutmu…”

“Dan juga, tidak ada yang salah dengan dirimu.”

“Aku hanya ingin menjadi orang yang baik bagi orang lain.” Jack masih memandang dengan tatapan nanar ke arah jalan raya.

“Kau baik bagi orang lain. Kau baik bagi kami semua. Kau adalah seorang sahabat yang tidak ada duanya, tapi kau perlu seseorang yang lebih dari sekedar sahabat. Seorang…”

“Aku tidak tahu. Aku belum siap untuk itu. Aku… aku tidak tahu. Aku belum menemukannya.”

“Kau tahu? Orang sepertimu, mudah sekali menemukan seseorang yang yang akan selalu membahagiakanmu. Kau hanya perlu keberanian untuk memulainya.”

“Aku berteman dengan banyak perempuan, tapi yang kurasakan adalah betapa aku bisa bahagia karena aku bisa membuat mereka bahagia. Aku juga merasakan bahwa mereka bahagia ketika bersamaku. Tapi, untuk hubungan yang lebih serius, aku merasa canggung dengan mereka semua. Mungkin karena mereka adalah teman-temanku. Dan kurasa, mereka juga akan merasa canggung dengan keadaan “hubungan yang lebih serius” denganku. Ini bukan hanya masalah memulai.”

“Ya! Aku bisa memahaminya.”

Kesepahaman meredakan diskusi dan menyingkirkan tanya untuk sesaat; menelan segenap rasa dan ragu untuk meluapkan keheningan yang pekat. Suara hujan kembali memasuki kesadaran, menggemakan nyanyian-nyanyian yang sama sejak terdengar di masa buaian. Di salah satu sudut Coffe House itu, Jack dan Abe duduk terdiam, tanpa senyum dan kerut, menikmati rasa-rasa yang tiada henti menyayat penolakan, mengucurkan angan dan ingin demi sebuah kopi panas bersama dingin.

“Hei, lihat! Sedang apa dia?” Kata Jack sambil menunjuk heran ke arah seorang perempuan yang berjalan tertunduk di bawah hujan dengan beberapa lembar kertas di genggaman tangannya.

“Dia sedang berjalan di bawah hujan tanpa payung dan sekarang dia berhenti sambil melihat kertas-kertas di…”

Belum sempat Abe menyelesaikan kalimatnya, Jack sudah berlari ke arah perempuan itu dan menyapanya. Abe, dengan nyaris tiada berkedip, melihat kelakuan sahabatnya dan terdiam menikmati suasana: Jack mulai berbicara dengan perempuan tersebut.

“Hei, kau tidak apa-apa?” Sapa Jack dengan sedikit malu.

Helena mengalihkan pandangannya ke arah Jack dan menjawab datar dengan tanpa perubahan ekspresi pada wajah manisnya, “Ya, aku tidak apa-apa.”

“Kau basah kuyup.” Kata Jack seadanya.

“Dan kau sedang bicara ngawur.”

“Aku tahu. Dan kalau kau tidak keberatan, kita bisa mendiskusikan permasalahan sebab-akibat ini di dalam sana.” Ujar Jack sambil menunjuk ke arah kafe.

Helena tersenyum dan lalu berjalan ke arah kafe. Di belakangnya, Jack mengikuti dengan memandang ke segenap tubuh Helena yang basah dimandikan hujan.

Kenapa dia berjalan begitu saja di bawah hujan hingga tubuhnya kebasahan? Apa yang dipikirkannya, sesuatu yang bahkan hujan sekalipun tidak mampu mengusiknya? Apakah dia seorang seniman? Apakah beberapa keadaan sudah tidak lagi bermakna baginya? Apakah dia sudah gila? Apakah aku yang gila? Aku seperti terobsesi kepadanya…

Sebuah dunia lain menghampar di hadapannya. Mulut mereka bercerita tentang kenikmatan minuman dan mata mereka bergumam tentang kemesraan hujan. Segala makna menjadi lain dan sesuatu yang-lain di dunia yang lain: satu cerita tertutur dalam ungkapan sama, tapi dengan makna berbeda. Gemuruh hujan memayungi perasaan yang meluap-luap, meredakan lintasan-lintasan rasa sesaat yang ingin menerkam jiwa. Ketika hati dimanja suasana, pikiran pun mulai berhalusinasi tentang realita.

Di bawah cahaya yang remang mengalir dari sumbernya, Helena, duduk diam di sebuah kursi yang cukup jauh dari Abe, memandang hampa ke kertas di genggaman tangannya. Di depannya, Jack dengan sungkan duduk sambil terus memperhatikannya. Keheningan merebak hingga kedua mata mereka dipertemukan cahaya. Dengan secepat refleks yang bisa dilakukannya, Jack mengedipkan mata dan membuang muka, memanggil pelayan kafe dan memesan dua cappuccino hangat, minuman favoritnya. Jack tidak tahu kenapa dia memesan dua cappuccino, tapi berharap Helena menyukainya. Di depannya, Helena hanya tersipu malu, tidak menolak pesanan tersebut dan kembali memandang kertas-kertasnya.

“Maaf, aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, tapi jika kau ada masalah, mungkin aku bisa membantu.” Ujar Jack memecah kebekuan.

“Terima kasih. Aku tidak apa-apa.” Kembali Helena menjawab dengan nada datar sambil menyeka rambut pendeknya.

“Sepertinya kertas-kertas itu mengusikmu?”

“Ya! Mereka cukup mengganggu: penelitianku.”

“Sepertinya menyenangkan.”

“Seharusnya. Tapi, ada komponen biaya di dalamnya.” Ujar Helena sambil meremas salah satu kertas hasil cetakan printer itu.

“Kurasa aku tahu masalahnya.”

“Terima kasih, dan terima kasih juga sudah membawaku ke sini.” Kata Helena tersenyum kembali.

Keheningan kembali memenuhi ruangan di antara mereka. Mereka asing satu sama lainnya; mereka—untuk ukuran tertentu—bahkan asing terhadap diri mereka sendiri. Keheningan adalah komunikasi yang menggelisahkan di ke-saling-asing-an. Tapi, semua kembali pecah begitu dua gelas cappuccino hangat tersaji di meja. Seruput: suara-suara berlalu ke dalam kesadaran, membangkitkan gairah keingintahuan yang tertahan dalam keheningan.

“Semua selalu lebih baik dengan segelas cappuccino.”

“Kau suka cappuccino?” Tanya Jack senang dengan nada penasaran.

“Tentu saja.”

“Aku juga begitu.”

Helena kembali menyeruput minumannya beberapa kali hingga cappuccino yang ada di cangkir tersisa setengahnya.

“Maaf, aku harus pergi.”

Jack sedikit kaget mendengar perkataan Helena lalu bertanya, “Pergi kemana? Di saat hujan begini?”

“Sepertinya kau tidak menyukai hujan.” Ujar Helena tersenyum.

“Aku hanya tidak mau basah.”

“Dan apa lagi yang bisa kita dapatkan ketika berdiri di bawah hujan?”

“Kuharap sesuatu yang menyenangkan.”

“Kau mau ikut?”

“Kemana?”

“Ke kerajaan peri hujan.”

Tanpa berpikir panjang, Jack pun mengosongkan gelasnya, berpamitan dengan Abe, membayar pesanannya, dan lalu menyusul Helena ke dalam hujan, tanpa payung.

“Kau tahu…?” Helena menghentikan tanyanya dan memandang Jack.

“Kau bisa ceritakan kepadaku.” Jack merasa senang, sudah lama juga dia tidak menikmati hujan seperti ini. Sambil tersenyum, Jack berkata, “Oh ya, namaku Jack.”

Helena pun membalas senyuman Jack.

Hujan: bagaikan kuas bagi sang pelukis. Bagi sang pelukis tersebut, awan adalah tempat catnya, sedangkan bumi adalah kanvasnya. Dengan kreativitasnya, dilukisnya bumi yang terhampar luas dengan berbagai keindahan tetumbuhan, bebatuan, dan perilaku manusia terhadapnya. Apalah arti ini semua tanpa hujan yang memberi warna. Di satu sisi dunia, di bawah hujan juga satu rasa terlukis, indah dalam kanvas hati yang sedikit gersang oleh warna-warna monoton—hitam dan putih kehidupan.

============

Random Talks 2

Menulis di blog itu me… entah kenapa aku merasa absurd. Apakah aku harus menulis dan mem-publish-nya di sini? Ketololan semacam ini sering kali berkelindan di benakku yang tidak kuat berpikir ini. Mungkin ada beribu alasan untuk itu dan aku tidak menemukan satupun yang adequate.

Menulis itu penting, hal itu akan melegakan pikiranmu, bagai air di dalam teko yang sudah hampir penuh dan kau harus menuangkan sebagian isinya ke tempat lain supaya teko itu tidak tumpah, begitulah menulis, dan begitulah kira-kira  kata seorang teman—sesuatu yang kulakukan tanpa sepenuhnya kusadari. Dan kusadari juga, itulah yang selama ini kulakukan: untuk—nyaris—membuang sampah-sampah yang ada di kepala. Serta, untuk membuat keadaan sedikit lebih kacau, tulisan-tulisan (ketikan-ketikan) itu ku-publish di sini. Karena itu, aku tidak memerlukan komitmen untuk memenuhi tempat ini dengan tulisan—seperti orang kebanyakan. Aku benar-benar normal dan waras sepenuhnya. Sudah saatnya menulis kembali.

Untuk sementara, kehidupan berjalan lancar dan luar biasa: normal dan waras, hingga akhirnya beragam pemikiran kembali berkecamuk. Aku harus menulis lagi entah apapun alasan untuk menundanya. Satu hal yang paling kupahami tentang kehidupan adalah bahwa kehidupan itu tidak bisa dipahami. Kehidupan itu bukan untuk dipahami, tapi untuk dijalani dan dinikmati, begitu kira-kira kata seorang eksistensialis dari Prancis. Kau masih ingat ketika kau masih kecil? Kau ingin jadi dokter atau pilot atau guru atau, yang agak sedikit konyol, kau ingin menjadi presiden. Kenapa aku pernah menjadi begitu tolol dulunya? Aku bertanya-tanya dan sayangnya keadaan sekarang tidak jauh berubah: aku tetap tolol—mungkin lebih—dan tidak ada satupun diantara keinginan itu yang tercapai. Sungguh menggelikan jika semua itu dipikirkan sekarang. Bagaimana tidak, lihatlah ke cermin!

Aku merasa benar-benar tolol dan kepalaku tidak mampu lagi menahannya. Maafkan aku, aku harus meninggalkan jejak ketololan ini dalam bentuk tulisan (dan sialnya atau lebih hebatnya lagi, ku-publish di sini), karena jika tidak, aku takut otakku akan terus dikonsumsi olehnya hingga tidak punya otak lagi.

Pak Xingjian, telah kubaca bukumu kemarin meski hampir dua tahun kumiliki
hari-hari terasa kering, hujan-hujan, tubuh kepanasan dan berkeringat
aku teringat Joyce dan Camus, Sartre kecil dan yang 55 tahun, dan tentu saja Mrs. Woolf dan Mrs. Dalloway
aku yang tak pernah gila ingin kewarasanku kembali…
Pak Xingjian, jika kau tak keberatan…

==========

Senin, 15 Mei 2014
Kota dengan langit tanpa bintang
dengan kesibukan yang melenakan
krisis eksistensial yang beranak pinak
menghidupi kematian

Enter Title Here

 

Ada orang-orang yang menjadi penunggu meja makan, menerima pesanan orang lain dan mengantarkannya. Mereka mondar-mandir di ruangan kecil itu.

Ada orang-orang yang hanya berdiri dan memencet-mencet nomor lantai. Di ruang kecil itu, mereka mengantar penumpang naik turun.

Ada juga orang-orang yang berdiri dan membukakan pintu bagi tamu yang hendak masuk atau keluar. Dengan cekatan dan ramah, mereka membukakan pintu di mall, hotel, …

Dan ada orang yang bekerja memindai bar-code setiap produk yang ada di kantong belanjaan pembeli, memasukkan barang-barang belanjaan itu, dan kemudian menagih biayanya.

Ada juga orang-orang yang… banyak pastinya…

Apakah orang-orang itu tidak mempunyai cita-cita, impian masa kecil yang ingin diwujudkan? Apakah mereka bercita-cita untuk bisa mengetik sepanjang hari? Apakah mereka tidak sanggup menanggung beban yang akan mereka derita jika menempuh jalan menuju cita-cita itu? Siapa yang hanya ingin menjadi pelayan restoran?

Bagaimana jika orang-orang seperti mereka tidak ada? Siapa yang akan  membantu orang-orang untuk naik bus TJ di haltenya dengan aman dan selamat? Siapa yang akan mengisikan bensin ke tankinya yang kosong di mobil-mobil itu?

======

Mathematicians are born, not made.
Henri Poincaré

The Time Paradox

A baby girl is mysteriously dropped off at an orphanage in Cleveland in 1945. “Jane” grows up lonely and dejected, not knowing who her parents are, until one day in 1963 she is strangely attracted to a drifter. She falls in love with him, but just when things are looking up for Jane a series of disasters strikes: First, she becomes pregnant by the drifter, who then disappears. Second, during the complicated delivery doctors discover that Jane has both sets of sex organs, and to save her life, they most surgically convert “her” to a “him.” Finally, a mysterious stranger kidnaps her baby from the delivery room.

Reeling from these disasters, rejected from society, scorned by fate, “he” becomes a drunkard and a drifter. Not only has Jane lost her parents and her lover, but he has lost his only child as well. Years later, in 1970, he stumbles into a lonely bar, called Pop’s Place, and spills out his pathetic story to an elderly bartender. The sympathetic bartender offers the drifter the chance to avenge the stranger who left her pregnant and abandoned, on the condition that he join the “time traveller corps.” Both of them enter a time machine and the bartender drops the drifter off in 1963. The drifter is strangely attracted to a young orphan girl, who subsequently becomes pregnant.

The bartender then goes forward 9 months, kidnaps the baby girl from the hospital, and drops the baby off in an orphanage back in 1945. Then the bartender drops off the thoroughly confused drifter in 1985, to enlist in the time traveller corps. The drifter eventually gets his life together and becomes respected and elderly member of the time traveller corps, and then disguises himself as a bartender and has his most difficult mission: a date with destiny, meeting a certain drifter at Pop’s Place in 1970.

========

Copy-paste dari creepypasta The Time Paradox.

Resosuli

Resolusiku saat ini adalah tidak akan membuat resolusi pada tahun baru nanti dan aku akan menjalankan resolusi itu: itulah resolusiku tahun baru nanti.

Pada saat tulisan ini dibuat, gue sama sekali tidak punya gambaran tentang masa depan, apapun. Menyedihkan dan menyenangkan, sekaligus: sangat terbebani oleh ketiadaan beban.

Seringkali gue merasakan kekonyolan, “Mari kita curahkan segenap energi, keluh-kesah, kebahagiaan, ketakutan, dan apapun itu—Akulah penguasa masa depan!!—demi ritual yang penting ini: membuat resolusi untuk setahun ke depan—atau lebih tepatnya: membuat daftar mengenai apapun yang tidak akan aku kerjakan selama, setidaknya, setahun ke depan.”

Apakah gue begitu? Apa begitu gue ada-nya? Apakah orang yang bertanya tentang dirinya sendiri ke dirinya sendiri adalah seorang neurotis?

Mungkin gue terlalu banyak keinginan: bertamasya ke ISS, melihat lubang hitam, memahami—meskipun mungkin tidak sepenuhnya—Finnegans Wake dan Dhalgren. Mungkin pesimisme gue yang terlalu optimis. Bagaimanapun, semua masih berada dalam batas…

Hanya saja, mengenai resolusi…

Resolusiku adalah tidak membuat resolusi apapun…

Seribu Ruang

kulihat langit merangkai mendung layaknya si waras merangkai murung
tidak ada yang baru di sina, semua orang suci dengan dosa-dosa yang berbeda
anjing-anjing meraung-raung di keheningan malam
aku peduli dan menuliskannya
begitulah orang-orang yang kurang kerjaan dan
sebagian di antara mereka bergelar seniman
mereka pergi ke seorang opthalmolog karena tenggorokannya sakit
sehingga tidak bisa mencium bau enak yang sinis

seribu celah membuka tapi satu ingin kudengar
ujian tidaklah mengapa, tapi harus diganjar
jika tidak, kasihan anak-anak tolol itu memupuk harapan sekian tahun hanya
untuk melihatnya tergapai begitu saja, membosankan, tapi
semua orang senang, siapa yang tidak
kau pasti sudah gila dengan kata-kata yang terangkai waras

kau perlu tahu apa-apa yang nyaris tidak ada gunanya bagimu supaya kau
bisa menikmati apa-apa yang telah kau perjuangkan
kau tahu itu, ya kau tidak perlu tahu itu

di Venice orang-orang duduk-duduk di pinggir kali, di pinggir kali
di tepi laut, di tepi laut, anjing-anjing berkeliaran, anjing
laut, kucing-kucing bercumbu, kucing laut, matahari naik dari
laut, menanjak susah payah ke pusat siang, lalu menukik hingga ditelan
mulut-
mulut gunung yang menganga
tidak akan terlihat André Breton, di antara kabut pekat bernama manusia
tapi aku merindukan saat-saat semua begitu pudar di telan senja
apakah di Venice sana orang-
orang juga
merindu matahari untuk kembali setelah bersimbah darah
di tepian horizon ditelan gunung ditelan gerhana

keingintahuan yang pendek menjelang usia dewasa ini meluluhlantakkan
idealisme, tidak seperti mereka yang ujian, mencari jalan untuk lolos dari ketololan
mencari jalan menuju keajaiban, tapi bertemu dengan suatu kepintaran
lain yang tidak pada tempatnya

seribu pintu ternganga tapi satu yang ingin kubuka
neraka bagi setan-setan
dan iblis-iblis
yang masuk ke alam pikir menolak ke sana, bagaimana mungkin mereka masuk, neraka bagi mereka
dari dunia, pengalaman masuk ke jiwa, bersemayam, bersenandung membentuk dunia
yang tiada indah dikata, namun ternikmati jua: aku
aku bertanya: “Kenapa hanya Newton yang bertanya “Kenapa?” sementara yang lain mencela?” dari sebuah apel, datanglah dunia, baru bagi semesta manusia, tapi sudah lama ada
dan apa yang terjadi di sini, kita dijajah dan berpecah belah, bukan begitu,
aku tak dapat lebih setuju lagi, tapi mengapa

seribu setan tertawa, sakit perut melihat mangsa
“Inilah surga bagi dosa dan dosa” mereka berkata

seribu ruang tertutup tapi satu ingin kubuka, aku bertanya, “Apa yang ada
dipikiran orang gila?” Sekarang aku menyadari kenapa
aku begitu sering menggunakan kata-kata “gila”
tidak ada yang lebih baik, fuck? bukanlah apa-apa
lalu mereka menawarkan obat berupa racun
hingga menghimpit saraf-saraf kewarasan
hingga menjadi gila
aku seratus persen, seribu permil waras adanya, aku bertanya, aku bertanya, dan lagi aku bertanya, aku membaca, aku membaca, dan lagi aku
membaca, semua menjadi semakin tak jelas, semua menjadi semakin
buram, aku masuk ke dalam jebakannya, obat itu menjadi benar-benar racun, dan racun itu mengobati segala sakit ini, yang terasa

Buku-Buku yang tak Terbaca

Bulan ini, sampai entry ini di-posting, gue sudah membeli empat buku dan untuk itu seorang teman bertanya, “Lu suka baca buku, ya?” Dan gue jawab, “Nggak.” Dia tidak mempercayainya. Apakah jika seseorang sering membeli buku, maka dia suka membaca buku? Lebih tak-penting lagi, apakah ada sifat “suka membaca buku”? Jika ada yang seperti itu, menurut gue, buku yang dibacanya pastilah buku-buku yang luar biasa membosankan. Apakah buku-buku yang gue baca adalah buku-buku yang luar biasa membosankan? Tidak ada yang tahu. Tapi, bagaimana kau bisa bosan membaca dua novel terbaik yang pernah ada—A Portrait of the Artist as a Young Man-nya James Joyce (Jalasutra 2003) dan Burung-Burung Manyar-nya Y.B. Mangunwijaya (Djambatan 2010), dua diantara empat buku yang, akhirnya berakhir bahagia dan, gue beli?

Masa lalu lalu menyeruduk masuk alam pikir. Gue pernah suka dengan kegiatan membaca buku. Gue yang dulu polos, begitu ingin membaca Nadja-nya André Breton dan karya-karya Dostoyevsky, sekarang, setelah punya itu semua, menjadi muak dengan mereka. Yang ingin gue lakukan hanyalah membacanya dan merenungkannya, tapi tidak untuk menyukainya. Dan lalu? Membuat sebuah novel eksperimental yang lebih banyak didiskusikan daripada dibeli dan dibaca—seperti yang dikatakan The Guardian terhadap Ulysses-nya James Joyce. Dengan begitu, gue telah menafkahi secara tidak langsung para kritikus sastra dan penggiat kajian budaya karena dengan menginterpretasikan itulah mereka jadi punya pekerjaan, dan dengan begitu mereka bisa makan, serta tidak perlu takut akan kehilangan pekerjaan. Apakah gue berlebihan? Keterlaluan?

Sekarang, setelah sedikit dewasa, tidak ada lagi rasa suka, dan yang tersisa adalah kebutuhan: membaca buku adalah sebuah kebutuhan. Dengan kondisi keuangan yang terlalu lebih dari cukup, membeli buku bukanlah sesuatu yang sulit, apalagi hidup di kota dengan langit tanpa bintang ini. Tapi tololnya, libido untuk membeli buku terlalu tinggi, sedangkan keinginan untuk membacanya layaknya PNS paling rajin: gue terlalu malas untuk membacanya.

Dulu, sebuah pertanyaan tolol sempat menghinggapi kesadaran: haruskah kubeli buku yang, besar kemungkinan, tidak akan kubaca? Dengan kondisi ekonomi yang cukup memprihatinkan—begitulah mahasiswa—gue meyakinkan diri bahwa hal itu perlu—dan begitulah mahasiswa, terbakar hingga gosong karena idealismenya. Maka, puasa menjadi kegiatan yang tak terelakkan demi dua-tiga buku perbulan, dan memang, sebagiannya tetap tidak terbaca, tuntas. Begitu gue bertanya ke beberapa orang teman, mereka, umumnya, berkata bahwa buku-buku yang mungkin tidak akan terbaca tidak sebaiknya dibeli. Tapi… Uugh..!!

Jutaan detik berlalu hingga akhirnya apa yang gue lakukan mendapatkan pembenarannya dari Pak Taleb: Umberto Eco Anti-Library. Kita tidak tahu buku mana yang akan memicu terjadinya black swan dalam kehidupan ini, karena itu, buku-buku yang belum terbaca jauh lebih berharga daripada buku-buku yang sudah dibaca—bukan digunakan sebagai latar ketika diwawancarai oleh seorang-dua orang wartawan seperti yang dilakukan oleh para politikus atau peneliti di menara gading sana.

Meskipun begitu, keragu-raguan masih tetap menghinggapi: bagaimana mungkin gue menghabiskan Rp. 361.000,- untuk 800 halaman lebih yang nyaris sia-sia? Memang ada buku yang seperti itu, yang mana, manusia dengan bahasa ibunya adalah bahasa Inggris—bahasa yang digunakan pada novel—tetap tidak mengerti apa yang diceritakan oleh pengarang dalam novelnya yang ajaib itu.

Apapun itu, membaca adalah sebuah kebutuhan, terlepas dari rasa suka atau muak…

Catatan Jalan-Jalan

Realitas di sekitar kita memuakkan. Itulah kira-kira kenyataan yang gue dengar dari mata yang sudah agak rusak ini. Mungkin memang begitu. Orang-orang pergi jalan-jalan ke tempat yang, bisa dikatakan, indah, earth porn, dan melakukan ga-ngapa-ngapain di sana.

Senin sampai jum’at, dan dalam beberapa kasus—gue contohnya—harus sampai hari sabtu juga, para manusia melakukan ritual yang itu-itu saja: bekerja, bersenang-senang di kantor, bercanda—ahh betapa bahagia—dan terkadang membicarakan kejelekan orang lain. Dan mungkin para manusia sudah agak bosan dengan itu semua. Bagaimanapun, karir, yang merupakan salah satu penemuan terbesar dan terpenting abad ini, ternyata mempunyai sejumlah persoalan eksistensial yang cukup parah dan mungkin tak akan terobati untuk, katakanlah, dua ratus tahun ke depan.

Tapi kita tidak bisa terlepas dari itu semua. Siapa yang tidak butuh uang? Dan karir menyediakannya. Siapa yang tidak butuh kebahagiaan? Dan itu pun tersedia. Bukan begitu? Lalu, apa permasalahannya? Ternyata tidak sesederhana itu. Kalau manusia suka bekerja, apakah mereka perlu jalan-jalan? Apakah perlu pergi ke tempat yang orang lain mungkin tidak bisa? Gue rasa, itu perlu, karena kalau tidak begitu, apa gunanya jalan-jalan? Bukankah lebih baik membeli buku dan membacanya? Jika kita memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain, bukankah itu.. apa ya..??

Tidak perlu ada kartun atau anime di minggu pagi, renungan-renungan spiritual tentang betapa sempurnanya hidup dan kita perlu mensyukurinya, atau berdiam diri saja di rumah bersama keluarga sambil membaca secara dramatis Waiting for Godot-nya Beckett. Bersenang-senang dan bahagia bukan di sini tempatnya, tidak di tempat bernama “rumah”, tapi di tempat lain yang agak terasing…

Jalan-jalan itu perlu, tapi membaca, merenung, menonton kartun, masukkan saja ke dalam catatan “tugas-tugas yang tidak perlu dikerjakan”. Jangan lupa di-posting di social media. Realitas memang memuakkan. Dan jalan-jalan itu perlu, tapi tidak dengan semangat seperti yang diutarakan oleh Jalaluddin Rumi.

Dan gue pun jalan-jalan, naik TJ koridor 12: bus gandeng yang dingin dengan rute yang cukup banyak belokan, melaju agak kencang, sampai 60 km/jam sehingga gaya sentrifugalnya ketika di belokan cukup terasa—betapa senang, serta melewati gedung-gedung tinggi yang indah, ya, indah!! Dan yang lebih bagus lagi, tempat ini cukup sepi, tidak terlalu banyak makhluk bernama manusia.

Ya, kita memang berasal dari keterasingan dan, katanya, kita akan kembali ke keterasingan. Seandainya ada fjörd di sini…

Bersamamu (2)

Terakhir kulihat ada-mu, seperti kata kehilangan makna, diri adanya. Aku
melihat yang buta, yang tak bisa
melihat-ku. Aku menyadari yang tak sepenuhnya menyadari
keberadaan-ku. Kata-kata terjebak,
terkurung dalam gelap hati;
uraian kalbu gagal membentuk makna: semua lamunan ini, tiada menemukan
jalannya dalam bahasa. Kata-kata tak berkerja di semesta
kenyataan. Yang berdetak dalam gemuruh hampa.

Kata yang tiada menemukan tempat menjadi nyata, rasa yang kehilangan nyamannya tempat
berlabuh, kemayaan makna bertegangan di sudut yang teduh, melenyap
dalam angan yang berkelindan. Keujudan
merancu, yang galau beterbangan mencari arti.

Inginku membawamu, menebas udara senja. Inginku terbang
bersamamu, lalui batas khayal
segenap rindu, bebaskan rasa yang tak terkata, lampaui tapal batas bahasa. Inginku
melayang bersamamu, ke balik segala makna, menyingkap yang tak terkira, di ujung-ujung
imaji
yang memudar di ceruk penanda.

Sayangku,
di ruang rasa yang tak berujung ini,
kau menari, lantunkan lagu baru dari kegilaan nada-nada.
Bagaimana kau membungkam rindu yang tak
kunjung padam, kau yang terkurung dalam bahasa, tiada temukan makna dalam
segala kata?

Aku ingin bebas bersamamu…