Beberapa orang teman yang sesekali membaca blog saya, berulang kali bertanya kenapa blog ini bernama JacknHelena, padahal tidak ada cerita tentang Jack dan/atau Helena di dalamnya. Tentu saja, saya juga bertanya kepada diri sendiri kenapa namanya harus begitu. Dan jawabannya: saya tidak tahu. Saya tidak terlalu memikirkan namanya ketika membuat blog ini. Tapi yang pasti, di hampir semua cerpen yang saya karang, nama tokoh utamanya adalah Jack dan Helena (atau tanpa nama). Mungkin dari sanalah… Dan memang, saya tidak pernah mem-publish cerita tentang mereka.
Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk mem-publish salah satu cerita tentang mereka. Tapi, cerita yang akan saya publish ini– menurut teman-teman yang cukup dalam mengenal saya–benar-benar tidak menggambarkan apa yang biasanya saya karang atau yang biasanya saya pikirkan (hal-hal seperti itu hanya akan menjadi sampah di pemikiran: struktulasime, post-strukturalisme, post-modernisme, pop culture, etc, yang pada akhirnya membawa saya menyelami hal-hal yang berbau eksistensialisme: tentang makna di dunia dimana yang banal dan profan begitu pekat meng-ada dan merealitas).
=============
Hujan. Pada pagi yang berlalu indah dengan atau tanpanya, apalah arti dingin yang selalu menyelimuti. Basah oleh air atau pun embun, sekuntum bunga tetaplah bunga, dengan segala makna yang terkandung dalam namanya. Dan pada berkah yang mereka timpakan, selalu ada hikmah dan pelajaran di baliknya. Bagai sepotong kecil semesta, keindahan menampak seperti benang kusut jika tidak dirasa. Apakah mereka menyadari bahwa lukisan Dalí tidaklah berarti apa-apa tanpa orang yang “melihat”nya?
“O Tuhan, Engkau Yang Serba Agung, tidakkah Kau merasa bahwa ini sudah lebih dari cukup? Hujan, lagi, dan hujan. Siapa yang bersyukur, tidak, bumi telah dalam nikmat terlingkup? Hujan, lagi dan Engkau biarkan.”
“Bukankah kopi ini menjadi lebih nikmat dengan adanya hujan?”
“Dan puisiku berakhir di sini. Terima kasih Tuhan.” Kata Jack sambil tersenyum ke arah temannya.
“Kau ada janji di sabtu pagi yang cerah ini…”
“Hmmm…”
“Dengan seorang perempuan?” Abe mengakhiri tanyanya setelah sempat terpotong oleh hmmm Jack.
“Tidak ada. Dan…, benar, bahwa kopi ini, si hitam yang pekat dan pahit, terima kasih Tuhan, adalah nikmat untuk dinikmati bersama hujan.” Ujar Jack tanpa memperhatikan temannya.
Abe memandangi Jack yang termenung memandang ke arah jalan raya melalui jendela dalam-dalam. “Kau yakin?”
“Memangnya kenapa?”
“Bukan bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, tapi kenapa sampai sekarang kau belum mau berhubungan secara serius dengan perempuan? Tidak ada yang salah dengan mereka atau pun dengan hubungan yang nantinya akan kau jalani.”
“Apakah menurutmu…”
“Dan juga, tidak ada yang salah dengan dirimu.”
“Aku hanya ingin menjadi orang yang baik bagi orang lain.” Jack masih memandang dengan tatapan nanar ke arah jalan raya.
“Kau baik bagi orang lain. Kau baik bagi kami semua. Kau adalah seorang sahabat yang tidak ada duanya, tapi kau perlu seseorang yang lebih dari sekedar sahabat. Seorang…”
“Aku tidak tahu. Aku belum siap untuk itu. Aku… aku tidak tahu. Aku belum menemukannya.”
“Kau tahu? Orang sepertimu, mudah sekali menemukan seseorang yang yang akan selalu membahagiakanmu. Kau hanya perlu keberanian untuk memulainya.”
“Aku berteman dengan banyak perempuan, tapi yang kurasakan adalah betapa aku bisa bahagia karena aku bisa membuat mereka bahagia. Aku juga merasakan bahwa mereka bahagia ketika bersamaku. Tapi, untuk hubungan yang lebih serius, aku merasa canggung dengan mereka semua. Mungkin karena mereka adalah teman-temanku. Dan kurasa, mereka juga akan merasa canggung dengan keadaan “hubungan yang lebih serius” denganku. Ini bukan hanya masalah memulai.”
“Ya! Aku bisa memahaminya.”
Kesepahaman meredakan diskusi dan menyingkirkan tanya untuk sesaat; menelan segenap rasa dan ragu untuk meluapkan keheningan yang pekat. Suara hujan kembali memasuki kesadaran, menggemakan nyanyian-nyanyian yang sama sejak terdengar di masa buaian. Di salah satu sudut Coffe House itu, Jack dan Abe duduk terdiam, tanpa senyum dan kerut, menikmati rasa-rasa yang tiada henti menyayat penolakan, mengucurkan angan dan ingin demi sebuah kopi panas bersama dingin.
“Hei, lihat! Sedang apa dia?” Kata Jack sambil menunjuk heran ke arah seorang perempuan yang berjalan tertunduk di bawah hujan dengan beberapa lembar kertas di genggaman tangannya.
“Dia sedang berjalan di bawah hujan tanpa payung dan sekarang dia berhenti sambil melihat kertas-kertas di…”
Belum sempat Abe menyelesaikan kalimatnya, Jack sudah berlari ke arah perempuan itu dan menyapanya. Abe, dengan nyaris tiada berkedip, melihat kelakuan sahabatnya dan terdiam menikmati suasana: Jack mulai berbicara dengan perempuan tersebut.
“Hei, kau tidak apa-apa?” Sapa Jack dengan sedikit malu.
Helena mengalihkan pandangannya ke arah Jack dan menjawab datar dengan tanpa perubahan ekspresi pada wajah manisnya, “Ya, aku tidak apa-apa.”
“Kau basah kuyup.” Kata Jack seadanya.
“Dan kau sedang bicara ngawur.”
“Aku tahu. Dan kalau kau tidak keberatan, kita bisa mendiskusikan permasalahan sebab-akibat ini di dalam sana.” Ujar Jack sambil menunjuk ke arah kafe.
Helena tersenyum dan lalu berjalan ke arah kafe. Di belakangnya, Jack mengikuti dengan memandang ke segenap tubuh Helena yang basah dimandikan hujan.
Kenapa dia berjalan begitu saja di bawah hujan hingga tubuhnya kebasahan? Apa yang dipikirkannya, sesuatu yang bahkan hujan sekalipun tidak mampu mengusiknya? Apakah dia seorang seniman? Apakah beberapa keadaan sudah tidak lagi bermakna baginya? Apakah dia sudah gila? Apakah aku yang gila? Aku seperti terobsesi kepadanya…
Sebuah dunia lain menghampar di hadapannya. Mulut mereka bercerita tentang kenikmatan minuman dan mata mereka bergumam tentang kemesraan hujan. Segala makna menjadi lain dan sesuatu yang-lain di dunia yang lain: satu cerita tertutur dalam ungkapan sama, tapi dengan makna berbeda. Gemuruh hujan memayungi perasaan yang meluap-luap, meredakan lintasan-lintasan rasa sesaat yang ingin menerkam jiwa. Ketika hati dimanja suasana, pikiran pun mulai berhalusinasi tentang realita.
Di bawah cahaya yang remang mengalir dari sumbernya, Helena, duduk diam di sebuah kursi yang cukup jauh dari Abe, memandang hampa ke kertas di genggaman tangannya. Di depannya, Jack dengan sungkan duduk sambil terus memperhatikannya. Keheningan merebak hingga kedua mata mereka dipertemukan cahaya. Dengan secepat refleks yang bisa dilakukannya, Jack mengedipkan mata dan membuang muka, memanggil pelayan kafe dan memesan dua cappuccino hangat, minuman favoritnya. Jack tidak tahu kenapa dia memesan dua cappuccino, tapi berharap Helena menyukainya. Di depannya, Helena hanya tersipu malu, tidak menolak pesanan tersebut dan kembali memandang kertas-kertasnya.
“Maaf, aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, tapi jika kau ada masalah, mungkin aku bisa membantu.” Ujar Jack memecah kebekuan.
“Terima kasih. Aku tidak apa-apa.” Kembali Helena menjawab dengan nada datar sambil menyeka rambut pendeknya.
“Sepertinya kertas-kertas itu mengusikmu?”
“Ya! Mereka cukup mengganggu: penelitianku.”
“Sepertinya menyenangkan.”
“Seharusnya. Tapi, ada komponen biaya di dalamnya.” Ujar Helena sambil meremas salah satu kertas hasil cetakan printer itu.
“Kurasa aku tahu masalahnya.”
“Terima kasih, dan terima kasih juga sudah membawaku ke sini.” Kata Helena tersenyum kembali.
Keheningan kembali memenuhi ruangan di antara mereka. Mereka asing satu sama lainnya; mereka—untuk ukuran tertentu—bahkan asing terhadap diri mereka sendiri. Keheningan adalah komunikasi yang menggelisahkan di ke-saling-asing-an. Tapi, semua kembali pecah begitu dua gelas cappuccino hangat tersaji di meja. Seruput: suara-suara berlalu ke dalam kesadaran, membangkitkan gairah keingintahuan yang tertahan dalam keheningan.
“Semua selalu lebih baik dengan segelas cappuccino.”
“Kau suka cappuccino?” Tanya Jack senang dengan nada penasaran.
“Tentu saja.”
“Aku juga begitu.”
Helena kembali menyeruput minumannya beberapa kali hingga cappuccino yang ada di cangkir tersisa setengahnya.
“Maaf, aku harus pergi.”
Jack sedikit kaget mendengar perkataan Helena lalu bertanya, “Pergi kemana? Di saat hujan begini?”
“Sepertinya kau tidak menyukai hujan.” Ujar Helena tersenyum.
“Aku hanya tidak mau basah.”
“Dan apa lagi yang bisa kita dapatkan ketika berdiri di bawah hujan?”
“Kuharap sesuatu yang menyenangkan.”
“Kau mau ikut?”
“Kemana?”
“Ke kerajaan peri hujan.”
Tanpa berpikir panjang, Jack pun mengosongkan gelasnya, berpamitan dengan Abe, membayar pesanannya, dan lalu menyusul Helena ke dalam hujan, tanpa payung.
“Kau tahu…?” Helena menghentikan tanyanya dan memandang Jack.
“Kau bisa ceritakan kepadaku.” Jack merasa senang, sudah lama juga dia tidak menikmati hujan seperti ini. Sambil tersenyum, Jack berkata, “Oh ya, namaku Jack.”
Helena pun membalas senyuman Jack.
Hujan: bagaikan kuas bagi sang pelukis. Bagi sang pelukis tersebut, awan adalah tempat catnya, sedangkan bumi adalah kanvasnya. Dengan kreativitasnya, dilukisnya bumi yang terhampar luas dengan berbagai keindahan tetumbuhan, bebatuan, dan perilaku manusia terhadapnya. Apalah arti ini semua tanpa hujan yang memberi warna. Di satu sisi dunia, di bawah hujan juga satu rasa terlukis, indah dalam kanvas hati yang sedikit gersang oleh warna-warna monoton—hitam dan putih kehidupan.
============